Kamis, 06 Januari 2011

Standard Operating procedur (SOP) sebagai salahsatu pedoman bagi peningkatan pelayanan dan ‘kinerja’ unit organisasi pemerintah

Istilah SOP merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi sebagian kalangan masyarakat terutama dikalangan profesional, industriawan, perbankan dan beberapa instansi pemerintah meskipun dengan penyebutan yang berbeda-beda, seperti: Protap (prosedur tetap) biasa dipakai di kalangan kemiliteran, kepolisian, SPO (standar prosedur operasi) biasa dipakai di kalangan perkebunan, SBO (standar operasional baku) biasa dipakai di kalangan industri, SOP (standar operasional prosedur) biasa dipakai di kalangan pendidikan.

 Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah dokumen yang berisi serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan suatu tahapan kegiatan yang berisi cara melakukan pekerjaan, waktu pelaksanaan, tempat penyelenggaraan dan aktor yang berperan dalam kegiatan.

SOP sangat tepat diterapkan pada aktivitas administrasi perkantoran yang relatif bersifat rutin, berulang serta menghendaki adanya keputusan yang terprogram guna melayani pelanggannya.  Di sisi lain SOP juga sekaligus menjadi feedback guna penyesuaian antara kondisi yang dipersyaratkan dalam SOP dengan kondisi riil yang ada guna mencapai kinerja individu dan kinerja organisasi yang optimal. Bahkan dalam jangka panjang ,SOP dapat dijadikan sebagai langkah perbaikan kinerja pelayanan dan kinerja organisasi.

Khusus pada organisasi pemerintah pedoman pelaksanaan administrasi perkantoran yang dapat meningkatkan pelayanan dan kinerja organisasi merujuk pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/21/M.PAN/11/2008 tentang Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Peraturan ini mengamanatkan perlunya penyusunan Standar Operasi Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan sebagai pelaksanaan Reformasi Birokrasi di seluruh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah

Esensi dari pelaksanaan otonomi daerah sebenarnya bertujuan bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan pembangunan di daerah. Pelayanan birokrasi biasanya merupakan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) dan kegiatan rutin dari unit-unit kerja di lingkup Pemerintahan Daerah. Sedangkan kegiatan Pembangunan bermula dari visi – misi pimpinan daerah terpilih yang dikompilasi dengan Musyawarah Pembangunan Daerah (Musbangda) dan menghasilkan dokumen RPJMD sebagai acuan bagi pembangunan lima tahunan daerah.

Selama pelaksanaan otonomi daerah berjalan, keberhasilan pimpinan daerah seringkali hanya diukur dari kegiatan pembangunan (sebagian besar pembangunan fisik) yang telah dilakukan. Hal ini bisa dimengerti karena pimbangunan fisik lebih mudah dilihat walaupun bersifat temporer. Pertanyaan mendasar adalah: bagaimana halnya dengan fungsi pelayanan yang merupakan Tupoksi (kegiatan rutin) dan menjadi alasan mendasar keberadaan suatu unit kerja? Bagaimana mengukur kinerja dan tingkat keberhasilannya?

Kendala terbesar didalam mengukur tingkat keberhasilan dan kinerja unit-unit kerja dilingkungan Pemerintah Daerah adalah tidak adanya Standar baku dari yang ditetapkan bagi pelaksanaan Tupoksi mulai dari tingkat eselon II,III dan IV. Selama ini hanya ada uraian tugas yang bersifat abstrak dan dijabarkan menurut kemampuan dan persepsi masing2 aparat. Demikian juga halnya penilaian,  tidak ukuran yang jelas dalam meniai kerja suatu aparatur dalam menjalankan Tupoksinya. Standar penilaian ‘kuno” PNS adalah DP3 yang juga tidak jelas ukuran dan fungsinya. Barangkali sudah saatnya BAKN yang mengurusi kepegawaian, untuk menyusun standar kompetensi dan  penilaian aparatur untuk menjawab kesenjangan reformasi birokrasi dan profesionalitas yang selalu didengung-dengungkan.

Dengan telah ditetapkannya Standar Pelayanan Minimal (SPM) oleh Departemen-Departemen di tingkat pusat dan kemudian menjadi kewajiban daerah untuk menyusun pencapain SPM pada berbagai bidang pelayanan dan pemerintahan seperti yang diamanatkan PP nomor 65 tahun 2005 (TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL) dan PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 62 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI DI KABUPATEN/KOTA, maka daerah perlu menindaklanjuti dengan Penyusunan Standar Operasi Prosedur untuk setiap tahapan pelayanan pada seluruh Satuan/Unit Kerja Perangkat Daerah yang ada, untuk mencapai target pencapaian pelayanan minimal yang ditentukan.

Akan mustahil target pelayanan minimal diwujudkan apabila standar operasi prosedur sebagai pedoman bagi aparatur menjalankan kegiatan-kegiatan pelayanan masyarakat tidak disusun. Disamping itu SOP seperti yang telah disampaikan sebelumnya, menjadi salahsatu ‘feedback’ untuk menilai sejauhmana ‘kinerja’ aparatur menjalankan tupoksinya. Masalahnya, meskipun Kementerian PAN telah mengeluarkan Permenpan No. PER/21/M.PAN/11/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan. Sebagian besar Pemerintah Daerah belum memulainya.
Read more!

Rabu, 05 Januari 2011

SEJAHTERA, PENGANGGURAN, KEMISKINAN DAN PRODUKTIFITAS

Kata ‘sejahtera’ sangat populer dan tidak asing didengar oleh telinga masyarakat Indonesia. Kata sejahtera biasanya diletakkan paling akhir dari suatu tujuan , seperti contoh berikut: ‘masyarakat adil, makmur dan sejahtera’, ‘keluarga bahagia sejahtera’, ‘bangsa yang maju dan sejahtera’, dsb,dsb. ‘sejahtera’ menjadi sesuatu “impian” yang hendak diwujudkan baik dalam konteks individu, organisasi, masyarakat maupun Negara. Sehingga, kuranglah ‘afdol’ rasanya.. apabila dalam menyusun dokumen perencanaan, pidato-pidato, penyusunan visi-misi organisasi, individu ataupun partai politik tidak dicantumkan kata ‘sejahtera’. Masalahnya sekarang bagaimana mewujudkan ‘sejahtera’ itu?

Untuk mewujudkan ‘sejahtera’ perlu dipahami terlebih dahulu pengertian, dan indikator kesejahteraan yang akan sangat berfariasi tergantung kepada konteks dan luas cakupannya. Namun, secara sederhana dapat diartikan ; ‘sebagai suatu kondisi dimana terwujudnya (need) kebutuhan pada tingkat tertentu (baik individu, keluarga, masyarakat, bangsa). Moslow mengklasifikasikan kebutuhan (need) setiap individu bertingkat mulai dari kebutuhan akan sandang pangan, perumahan, pendidikan, derajat sosial. Tingkat kesejahteraan sesorang diukur dari sejauhmana tingkat kebutuhan dasar tersebut dipenuhi. Dalam pelajaran ekonomi klasik dikatakan; “welfare (kesejahteraan) terwujud ketika terjadinya full employment ( angkatan kerja tidak ada yang menganggur). Artinya, kesejahteraan bisa tercapai apabila semua angkatan kerja bekerja (produktif), baik sebagai pekerja maupun menciptakan pekerjaan sendiri.

Dari pemahaman tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak mungkin terwujud apabila masyarakat masih banyak miskin dan menganggur. Sehingga kemudian, sejak pemerintahan orde baru s/d sekarang, Program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan tetap menjadi prioritas. Masalahnya, sudah sedemikian banyak program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan namun kemiskinan dan pengangguran tetap tidak bisa ‘terentaskan’ bahkan sepertinya dilapangan semakin meningkat ?!. Alasan klasik seperti resesi ekonomi, gejolak politik, dsb, bisa saja dikemukakan sebagai penyebab. Ada beberapa kelemahan mendasar dalam upaya pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan selama ini (menurut saya) a.l:
1. Tidak adanya indicator yang pasti tentang kemiskinan dan pengangguran yang bisa dijadikan rujukan bersama, serta tidak adanya data pendukung yang lengkap terhadap orang miskin dan menganggur yg bisa diakses bersama, sehingga bisa ditentukan program yang tepat bagi masing-masing individu yang miskin dan menganggur (masalah data dan informasi).
2. Sebagian Program pengentasan kemiskinan dan ketenagaakerjaan lebih bersifat jangka pendek (recovery) dan tidak mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran, Seperti; Bantuan Tunai Langsung (BTL), Program Padat Karya (masyarakat menganggur disuruh bekerja dan dibayar). Selesai program mereka tetap miskin dan menganggur
3. Program kemiskinan dan ketenagaakerjaan sangat diminati (ibarat gula dikerubutin semut). Sehingga pada era sebelum otonomi daerah berbagai departemen meluncurkan program dengan metode dan target sasaran sendiri-sendiri, lemahnya koordinasi antar instansi. Sehingga, kesannya orang miskin dan menganggur menjadi ‘obyek’ bukan lagi ‘subyek’. Parahnya lagi, ada kelompok masyarakat yang senang menjadi penerima bantuan tapi ekonomi mereka tidak meningkat-ningkat juga.
4. Ada bebarapa program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan yang bersifat jangka panjang dan pengembangan kapasitas kelompok sasaran, baik berupa pelatihan, pembukaan lapangan usaha, maupun modal bergulir. Namun, tetap saja selesai program tidak ada lagi kelanjutan pengelolaan, atau diciptakan program yang kelihatannya baru tapi sebenarnya sama. Alhasil, tetap saja program tersebut putus ditengan jalan.

Untuk itu kedepan pada era-otonomi daerah ini, diharapkan daerah kabupaten/kota berani untuk berinofasi dan melaksanakan program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan dengan konteks dan metode yang lebih terarah dan focus pada sararan. Dengan mempertimbangkan hal-hal sbb:
1. Penetapan indicator kemiskinan dan pengangguran serta memiliki data yang lengkap tentang masing-masing individu, sehingga bisa diciptakan program yang sesuai dengan karaketristik kelompok masyarakat miskin dan pengangguran.
2. Program yang dilaksanakan didasarkan kepada prinsip ‘membuat mereka produktif dengan skill kemampuan yang ada pada mereka’. Selemah-lemahnya manusia, pasti tuhan menciptakan sesuatu kelebihan pada masing-masing individu. Masalahnya, bagi orang miskin menganggur ada hambatan-hambatan yang membuat mereka tidak bisa untuk megaktualisasikan kemampuannya. Mungkin saja karena pendidikan yang kurang, modal yang tidak ada, motivasi yang tidak kuat, keberanian diri, kemampuan yang belum diasah,dsb. Sehingga, program yang dilaksanakan menjadikan mereka sebagai ‘subyek’ bukan ‘obyek’ dan pihak pelaksana memposisikan diri sebagai ‘fasilitator’ .
3. Program yang dilaksanakan berkelanjutan, step-by-step, terukur, sasaran yang jelas dan terukur, terkoordinasi dengan baik, didasarkan kepada kemanusiaan bukan target politis dan program semata.

Produktifitas adalah perbandingan antara output yang dihasilkan dengan input yang dikeluarkan. Semakin besar output yang dihasilkan dibandingkan biaya yang dikeluarkan, dikatakan produktifitasnya semkin tinggi. Produktifitas Tenaga Kerja secara riil akan diukur dari upah yang diterima atau balas jasa tehadap barang modal yang dimiliki. Ketika seseoarang tidak bekerja tentu saja tidak ada yang dihasilkan dan menjadi tidak produktif dan tidak akan ada kesejahteraan baginya. Semakin produktif seseorang akan semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Adanya korelasi positif antara produktifitas dan kesejahteraan.

Kemiskinan terjadi apabila seseorang yang bekerja, tapi balas jasa yang ia terima tidak sesuai biaya yang ia keluarkan, ‘besar pasak daripada tiang’. Jika sebuah keluarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga, hanya seorang bekerja dengan penghasilan yang sebenarnya hanya bisa untuk membiayai kehidupan dia sendiri atau satu orang lagi tambahan, jelas kemudian keluarga tersebut akan jatuh kemiskinan. Jadi, antara produktifitas, penganguguran, kemiskinan dan kesejahteraan sesuatu yang saling berkaitan.

Dari paparan yang telah disampaikan, disimpulkan bahwa kesejahteraan tidak bisa terwujud apabila: seseorang tidak bekerja (menganggur), atau dia bekerja tapi balas jasa diterima tidak bisa mencukupi kebutuhan anggota keluarga (kemisikinan). Idealnya untuk mencapai sejahtera, semua orang bisa bekerja dan bisa membiayai dirinya sendiri, atau ketika dia tidak bekerja (sekolah atau mengurus rumah tangga) ada anggota keluarga lain yang membiayainya. Artinya, Program pengentasan kemiskinan dan pengangguran harus didasarkan kepada’framework’ BAGAIMANA SEMUA ANGKATAN KERJA BISA BEKERJA (PRODUKTIF) DAN KELUARGA MISKIN BISA MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN PENGHASILANNYA (PRODUKTIFITAS). Pemahaman konseptual seperti ini perlu, agar program yang dimunculkan lebih terarah, terukur, efektif, dan efisien.

Apabila kita lihat disekeliling kita, bahkan dikeluarga sendiri, berapa banyak yang tidak bekerja atau bekerja tidak sesuai dengan kemampuan dan investasi pendidikan yang dikeluarkan. Lebih jauh, kalau kita lihat Demografi penduduk kita, sebagian besar penduduk Indonesia adalah balita, anak-anak, usia sekolah, belum bekerja dan mengurus rumah tangga. Secara rata-rata seorang pekerja di Indonesia harus membiayai 4 orang lainnya yang tidak bekerja. Dan mereka berpotensi untuk miskin ketika tidak bekerja atau biaya hidup meningkat. Ternyata, mewujudkan ‘sejahtera’ tidak segampang diucapkan oleh jargon-jargon politik, pidato-pidato, ataupun proposal-proposal program. Dibutuhkan, terobosan baru, inovasi dan kerja keras, agar bangsa ini tidak selalu terpuruk dengan masalah kemiskinan dan pengangguran.
Read more!

URGENSI DATA KEPENDUDUKAN BAGI PENYUSUNAN KEBIJAKAN DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN YANG PRO-RAKYAT (bagian 2)

Guna mewujudkan amanat Undang-Undang No.23 Tahun 2006 terutama pasal 82, maka untuk implementasi Database kependudukan dibangun Sistim Informasi dan Administrasi kependudukan (SIAK) yang dilaksanakan secara online diseluruh kab/kota semenjak tahun 2008. Aplikasi SIAK mempergunakan Program database “Oracle” yang sampai saat ini menjadi Program database yang terbaik karena telah dipercaya dipergunakan oleh banyak perusahaan/organisasi besar di dunia.
Sebagai sebuah Sistim Informasi, yang penting dari pengelolaan database adalah bagaimana data yang telah diinput, saling terintegrasi dan dapat disajikan sesuai dengan kebutuhan sehingga bisa bermanfaat untuk kepentingan perumusan kebijakan di bidang pemerintahan dan perencanaan pembangunan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor No.23 tahun 2006 pasal 83 ayat I

Pengolahan data SIAK dimulai dari input data seluruh masyarakat dari hasil pencacahan yang dilakukan, untuk selanjutnya dilakukan updating sesuai dengan pelaporan dan pengurusan peristiwa kependudukan oleh masyakarat. Jadi, Pegelolaan database SIAK bersifak dinamis dan mengalami perubahan setiap harinya.

Adapun jenis data kependudukan yang bisa disajikan dan digunakan untuk perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan meliputi:
1. Data Jumlah Penduduk
Data umum yang bisa digunakan seluruh instansi
2. Data Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan (89 jenis pekerjaan)
Dapat Digunakan oleh seluruh Dinas yang ada dalam menentukan target sasaran besaran program yang akan dilaksanakan; Dinas Tenaga Kerja dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan dan penciptaan lapangan kerja (karena juga diketahui dengan persepsi jumlah orang yang menganggur); program-program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat; Dibutuhkan oleh fasilitator kelurahan dalam mengajukan program yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan dan kebutuhan masyarakat pada tingkat RT masing-masing.
3. Data penduduk Menurut pendidikan
Terutama diperlukan Dinas Pendidikan bagi penyusunan Program Pendidikan dasar dan menengah; pendidikan luar sekolah; Paket A,B, ; Diperlukan oleh Dinas-dinasl lain dalam menentukan materi program yang didasarkan tingkat pendidikan masayarakat sasaran
4. Data penduduk Menurut Status Perkawinan
Dibutuhkan oleh Dinas Kesehatan; Kantor pemberdayaan perempuan dan KB, Departemen agama;
5. Data penduduk Menurut Golongan Darah
Dibutuhkan Dinas kesehatan; PMI, RSUD dll
6. Data penduduk Menurut Agama
Dibutuhkan oleh Departemen Agama, Kebudayaan
7. Data penduduk Menurut Struktur Usia
Sangat luas cakupan program yang membutuhkan data ini diberbagai instansi; Perencanaan kependudukan; Dinas pendidikan dalam menetukan target PAUD, Beasiswa, dan kebutuhan infrastruktur untuk pendidikan berdasarkan, jumlah anak yang memasuki usia sekolah, sd,smp,slta; kantor Pemberdayaan perempuan dan KB, menentukan masayarakat usia produktif target sosialisasi PUS dan KB; Dinas tenaga kerja dalam menatukan angkatan kerja program2 ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.
8. Data Penduduk Menurut Status penyandang Cacat
Terutama penyusanan kebijakan dan Program Dinas Sosial
9. Data kepemilikan KTP
Dibutuhkan untuk program Asuransi kesehatan; Beasiswa pendidikan; data DP4 untuk Pilkada, pilpres dsb.

Dengan dipergunakannya data administrasi kependudukan ini oleh seluruh instansi di daerah diharapkan tidak terjadi lagi tumpang tindah program dan target saran. Disamping itu, Program akan berjalan lebih efektif dan efisien karena sudah diawali dengan data yang lengkap dan akurat mengenai sasaran program. Dengan melihat kondisi informasi kependudukan yang ada dan bisa ditelusuri satu persatu informasinya, maka Dinas/instansi bisa mengembangkan kreatifitas dan inovasi program sesuai dengan ‘Snapshot’ penduduk di suatu daerah yang bergerak dinamis.
Semoga kedepan akan terjalin koordinasi yang baik antar dinas/insaansi, terciptanya program yang saling melengkapi dan tidak tumpang tindih target sasaran. Perencanaan program yang lebih Pro-Prakyat karena berdasarkan kebutuhan masyarakat dan informasi yang akurat tentang masyarakat (tidak menduga-duga). Menggunakan satu sumber data kependudukan dari SIAK (Sistim Informasi dan Administrasi kependudukan). Read more!

Selasa, 04 Januari 2011

URGENSI DATA KEPENDUDUKAN BAGI PENYUSUNAN KEBIJAKAN DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN YANG PRO-RAKYAT (bagian I)

Pendahuluan
“Serangan teroris terhadap hotel JW Marriott pada tanggal 17 Juli 2009 dilakukan oleh pelaku yang mengantongi KTP palsu. Seorang penjebol rekening bank ditangkap oleh Polisi dan ditemukan memiliki lima buah KTP yang berbeda pada tanggal 25 Juli 2009. Telah disita sebanyak 88.000 KTP palsu sepanjang tahun 2008 di DKI Jakarta.” (Sumber: Nanang's-DetikInet)

Diakui atau tidak, kita selama ini sangat tertinggal dalam penataan administrasi kependudukan di bandingkan dengan Negara–negara asean lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand. Berbagai permasalahan yang timbul belakangan, seperti munculnya terorisme, narkoba yang semakin marak, gampangnya orang luar menetap dan pergi di wilayah NKRI, program pembangunan yang kurang tepat sasaran, sulitnya menentukan orang miskin di setiap daerah, Pendataan pemilih bagi Pemilu yang ricuh, serta berbagai permasalahan sosial yang muncul, ditengarai berawal dari lemahnya penataan Administrasi kependudukan di Negara ini.

Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta berbagai peraturan pelaksanaannya merupakan era- baru bagi penertiban administrasi kependudukan di Indonesia. Selama ini masalah pencatatan penduduk mengacu pada Staatblatz peninggalan kolonial Belanda. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memuat pengaturan dan pembentukan sistem yang mencerminkan adanya reformasi di bidang Administrasi Kependudukan. Salah satu hal penting adalah pengaturan mengenai penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK adalah identitas Penduduk Indonesia dan merupakan kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna mendukung pelayanan publik di bidang Administrasi Kependudukan.

Sebagai kunci akses dalam pelayanan kependudukan, NIK dikembangkan ke arah identifikasi tunggal bagi setiap Penduduk. NIK bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia dan berkait secara langsung dengan seluruh Dokumen Kependudukan. Pada Pasal 13 Ayat (3) UU No. 23 Tahun 2006 disebutkan bahwa NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya.
Undang-Undang No 23 Tahun 2006 juga menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak memperoleh dokumen kependudukan, seperti KK, KTP, NIK, Surat Keterangan Kependudukan (pindah, datang, kelahiran, dan kematian), Akta Pencatatan Sipil, dan lain-lain. Di pihak lain, tiap penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.

Tulisan kali ini ini lebih memfokuskan pembahasan kepada pentingnya data dan informasi Kependudukan guna mendukung kebijakan dan perencanaan pembangunan yang berorientasai masyarakat.

Pentingnya Data dan administrasi kependudukan

Selama ini data kependudukan diterbitkan oleh BPS dan dilakukan 10 tahun sekali melalui Sensus Penduduk. Pencacahan data penduduk BPS berdasarkan penduduk yang ada pada saat itu, walaupun secara administrasi bukan penduduk daerah bersangkutan. Sedangkan data penduduk tahunan bersifat estimasi dan kolaborasi dari survey-survey tahunan yang dilakukan. Data yang lengkap tentang hasil sensus penduduk tersebut tidak dimiliki oleh daerah.

Administrasi kependudukan berupa Kartu Keluarga (KK) dan KTP yang selama ini diterbitkan kelurahan dan kecamatan, sedangkan akte kelahiran diterbitkan oleh Bagian Tapem/ Bidang kependudukan dan yang terakhir Kantor Catatan Sipil. Karena dilaksanakan terpisah dan manual, data dan informasi penduduk di suatu daerah tidak bisa dimunculkan, hanya bersifat administrasi semata. Sehingga, bisa jadi seseorang bisa memiliki KTP dan KK diberbagai tempat dan daerah lain. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah penduduk dan informasinya di suatu daerah.

Akibatnya, secara umum Negara ini tidak memiliki data penduduk secara lengkap akurat. Ketika menjalankan program-program pembangunan, Departemen/instansi menyusun data-datanya sendiri yang kadangkala bisa saja disesuaikan tergantung kebutuhan program tanpa bisa di-crosschek kebenarannya. Ada pameo sebelumnya (4L = Lu Lagi, Lu lagi) , apabila seseorang dekat pihak aparatur /instansi/ kelurahan maka dia akan banyak mendapatkan bantuan dan target program. Sehingga kurangnya rasa keadilan dan pemerataan serta program ‘katanya’ tidak berjalan di efektif dilapangan (walaupun secara laporan berjalan baik).

Barangkali secara sederhana dapat disimpulkan, bagaimana mungkin pemerintah bisa menciptakan program-program yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakatnya, kalau “snapshot” (data dan informasi yang lengkap) tentang penduduk tidak dimiliki ??!
Dengan keluarnya Undang-Undang No 23 Tahun 2006 dan berbagai peraturan pelaksanaanya, terjadi perubahan mendasar bagi penataan administrasi kependudukan di indonesia. Berkaitan dengan topik ini ‘masalah data dan informasi’ dikaitkan dengan aplikasi SIAK dan implementasinya...

Bersambung ke tulisan berikutnya... Read more!

Senin, 03 Januari 2011

Reposisi Pengembangan Lembaga Ekonomi Mikro di setiap kelurahan bagi peningkatan aktifitas ekonomi kerakyatan

Permasalahan klasik yang sering dikemukakan oleh pengamat maupun masyarakat pada tingkat grass rout dalam pengembangan ekonomi kerakyatan adalah keterbatasan permodalan untuk berusaha dan mengembangkan usaha yang telah ada. Meskipun sebenarnya para pelaku usaha yang sukses maupun  para trainer of motivation  selalu mengatakan bahwa masalah permodalan (finance) bukanlah prasyarat utama untuk berusaha, yang paling penting adalah modal tekad, semangat dan peningkatan skill untuk menghasilkan seseuatu yang mempunyai nilai tambah. Baru kemudian jaringan pemasaran dan permodalan.

Sebagian besar masyarakat kita dalam berusaha/berproduksi masih bersifat tradisional, belum memperhitungkan analisa keuntungan dan biaya. Ketika, mereka berusaha dengan modal tanpa bunga mereka untung, tetapi jika modal yang dipergunakan pakai bunga dan biaya tenaga kerja mereka mengatakan rugi. Artinya, dalam hitung-hitungan usaha mereka belum memasukan biaya bunga dan tenaga kerja. Sehingga, secara analisa kelayakan usaha belumlah layak, karena keuntungan yang mereka terima sebenarnya terbatas kepada biaya tenaga kerja  sendiri dan biaya modal (bunga). Hal ini biasa terjadi di sektor pertanian dan usaha rumah tangga. Dengan demikian, dapat disimpulkan memang masih dibutuhkan lembaga permodalan mikro yang bisa menyentuh mereka.

Pemerintah sebenarnya  sudah lama mengucurkan kredit lunak bantuan modal melalui berbagai departemen yang ada, baik yang dikucurkan langsung oleh instansi terkait maupun bentukan kelompok masyarakat yang mengelola perguliran dana seprti; LPN,PDM-DKE, UPPKS, KUT, Koptan, Kumanis, dsb, dsb..   Namun keberhasilannya hanya terbatas 1 – 2 tahun dan kemudian secara bertahap berangsur-angsur habis dengan berbagai permasalahan seperti: masyarakat yang tidak mau lagi membayar, pengurus yang ogah-ogahan karena tidak lagi digaji, binaan instansi terkait yang mulai kendor, pembukuan yang tidak acountable, dsb..dsb.. Ada kesan hanya tumbal sulap, tidak menyelesaikan permasalahan utama.

Di era otonomi daerah ini dicoba lagi perguliran dana yang sepenuhnya langsung dikelola masyarakat seperti PNPM-P2KP, Kredit Mikro Negeri. Ada pradigma baru yang dimunculkan dalam konteks pemberdayaan masyarakat, menimbulkan kesadaran masyarakat untuk mengelola sendiri dana mereka sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan bersama dan apabila ada pelanggaran masyarakat yang akan memberikan sanksi dan memantau terhadap anggota masyarakatnya.  Tapi sepertinya, tidak akan berbeda jauh dari sebelumnya, baik pada awalnya namun berangsur-angsur mulai menimbulkan masalah seperti kredit macet dan pengelolaan yang tidak menunjukan peningkatan. Sanksi dari masyarakat sendiri yang diharapkan ternyata juga tidak efektif terutama didaerah perkotaan.

Ada fenomena yang menarik dalam perguliran dana ini. Ketika masayarakat berurusan lembaga perbankan atau perkereditan swasta lainnya mereka lebih patuh untuk membayar dibandingkan dengan  lembaga yang mereka bentuk sendiri atau lembaga bentukan Pemerintah walaupun tanpa bunga ataupun kredit dengan bunga yang rendah.  Hal inilah yang menjadi permasalahan utama sebenarnya karena menyangkut masalah prilaku yang terpupuk sekian lama dan akhirnya menjadi budaya.

Dengan dikeluarkan Surat Keputusan Bersama antara Departemen Keuangan, Departemen Koperasi dan Departemen Dalam Negeri tahun 2010. Maka kedepan lembaga keuangan mikro yang bisa dibentuk pada masyakarat perkotaan hanyalah BPR dan Koperasi yang tunduk kepada aturan-aturan yang mengikatnya.  Apabila, kita menginginkan adanya lembaga keuangan mikro disetiap kelurahan maka tentu saja harus berbentuk koperasi dan BPR yang pengelolaannya berbeda satu sama lain. Pembentukan BPR dan  operasionalisasinya mengacu kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sedangkan Koperasi mengacu kepada Undang-Undang dan peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Koperasi dan UKM. Apapun pilihannya, BPR ataupun koperasi, prinsip dasar yang harus ditanamkan adalah memberikan kredit dengan bunga yang relative rendah bagi masyarakat serta mengembangkan potensi usaha masayarakat yang ada diwilayah kerjanya.

Mengacu kepada pengalaman masa lalu seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pembentukan lembaga keuangan mikro di kelurahan-kelurahan kedepan harus mempertimbangkan hal-hal sbb:
  1. Lembaga keuangan mikro yang dibentuk dikelola secara professional. Pengurus/pengelola dipilih dari orang-orang yang mengerti pengelolaan keuangan komersial (bukan nirlaba). Selama ini lembaga keuangan mikro dikelola oleh orang-orang yang dipilih lebih didasarkan kepada  ketokohan maupun kekerabatan.   Sehingga dalam perguliran danapun kemudian kurang memperhatikan hal-hal yang mendasar dari pengolalaan keuangan, seperti: ‘cash flow’, perncanaan keuangan dan laporan perkembangan usaha/keuangan, analisa kredit, kelayakan usaha dsb.
  2. Misi Utama dari lembaga ekonomi mikro lebih ditekankan kepada pembangunan potensi dan aktifitas ekonomi masayarakat di wilayah kerjanya  tanpa meninggalkan prinsip profesionalitas pengelolaan
  3. Meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa lembaga keuangan mikro, sama dengan lembaga keungan/perbankan lainnya. Bukan lembaga pemberi bantuan seperti : BAZIS, BLT, atau lembaga sosial lainnya. Perbedaannnya lebih kepada keringanan bunga, prosedur dan kedekatan dengan masayarakat.
  4. Menciptakan metode pengembalian kredit yang efektif seperti: “simpanan/angsuran bajupuik”, celengan dsb. Dibutuhkan keaktifan pengelola.
  5. Mengembangkan pola kemitraan usaha dengan masyarakat pengguna (debitur), seperti: bantuan menejemen usaha, pengelolaan keuangan dan pemasaran produk
  6. Dukungan Pemerintah Daerah lebih diarahkan kepada; bantuan pendirian dan rekruitmen pengelola (berdasarkan prinsip profesionalitas), Subsidi bunga pinjaman, diklat/pengembangan pengelola (bekerjasama dengan lembaga diklat keuangan lainnya) dan penyertaan modal (jika diperlukan).
  7. Pembentukan lembaga independen (tingkat kecamatan atau kota) yang terdiri dari orang-orang kompeten di bidangnya, sebagai institusi yang bertugas mengawasi jalannya lembaga keuangan mikro.
Read more!

Minggu, 02 Januari 2011

Prospek Pengembangan Industri Kulit Terbesar di Sumatera

Padang Panjang penghasil ‘karupuak jangek” dan ‘tarompa datuak’ dulunyo siapa yang tidak kenal?!. Pemasarannya tidak saja di Sumatera Tengah tapi juga sampai ke negeri ‘Jiran’ Malaysia terutama di wilayah Selangor dan negeri Sembilan yang ‘notabene’ banyak orang minang disana. Disamping karena kedekatan budaya antara melayu dan minangkabau, persoalan fanatisme agama juga menjadi faktor pendukung. Seperti kita ketahui, penyembelihan sapi dan kerbau di wilayah Sumatera Barat dan Kota Padang Panjang khususnya, selalu dilakukan menurut syariah islam. Keyakinan itulah yang dipegang kuat oleh masyarakat ‘jiran’ dibandingkan dengan produksi dari daerah jawa misalnya.

Kerajinan kulit di Kota Padang Panjang bisanya bersifat turun temurun, dengan lokasi Silaing bawah, dan Pasar Usang. Dalam perkembangannya, bebarapa pengrajin telah bisa menghasilkan diversifikasi produk a.l: Topi, moris, jaket kulit dan terakhir sepatu (pesanan). Produk tsb dipilih karena memang minat masayarakat local berkisar pada jenis ini. Industri kulit di Kota Padang Panjang bisa dikatakan bukan bersifat industri massal seperti halnya di Jawa, akan tetapi bersifat “luxury good”. Ada kebanggaan tersendiri bagi masyarakat yang memakai acecoris dari kulit dan karena berdasarkan pesanan, harganya relative lebih mahal disamping bahan bakunya (kulit yang sudah diolah) masih berasal dari jawa. Sebenarnya, bahan baku kulit tersedia cukup banyak di Kota Padang Panjang. Masyarakat pengrajin kulit melakukan penyamakan kulit dan kemudian dijual kedaerah-daerah lain terutama pulau jawa. Kemudian membeli kembali untuk keperluan kerajinan kulit.

Berdasarkan historis di Kota Padang Panjang, serta mengingat Sentra Industri Kulit yang telah ada yakni di Porong Sidorjo dan Bogor telah mengalami kejenuhan disamping faktor bencana “lumpur lampido” di Sidoarjo. Departemen Peridustrian RI mengambil inisitif untuk sembuka sentra industri kulit baru, dan berdasarkan kajian historis dan prospek dipilihlah Kota Padang Panjang. Disepakatilah MOU antara Departemen RI, Propinsi Sumatera Barat dan Pemkot Padang Panjang tentang pembagian tugas dan pembiayaan. Peralatan, mesin serta pelatihan mutu dan teknologi menjadi tanggung jawab Departemen Perindustrian RI. Pemkot lebih bersifat menyediakan tempat, menyiapkan pengrajin dan operasional. Harapan besar dari Departemen RI menjadikan Kota Padang Panjang sebagai Sentra Industri terbesar di Sumatera bahkan di Indonesia sangatlah besar. Hal tersebut terutama didasrkan kepada “demand” terhadap alas kaki (sebutan umum bagi sepatu dan sandal) dunia sangatlah tinggi ‘suplly’ yang selama ini diisi oleh perusahaan alas kaki di Indonesia. Singkat kata prospek ekspor dari komoditi alas kaki dan kerajinan kulit sangatlah besar.

Persoalan bagaimana mengajak masyarakat di berbagai kelurahan di Kota Padang Panjang untuk melaksanakan kegiatan pengolahan kulit dan alas kaki, memang suatu permasalahan mendasar karena akan sulit merobah pekerjaan masyarakat yang selama ini menjadi tukang ‘ojek’, petani, ataupun penambang kapur, misalnya. Namun diyakini itu akan bisa diatasi oleh Pemkot dan masyarakat. Persoalan utama sebenarnya adalah masalah upah pekerja. Ketika Industri kulit sudah bersifat massal, masalah upah pekerja akan sangat menentukan keberlanjutan pengembangan industri, mengingat industry jenis ini bersifat padat karya , sehingga masalah harga akan sangat menentukan dalam persaingan antar industry sejenis. Seperti kita ketahui, upah pekerja di Sumatera Barat dan Kota Padang Panjang khususnya lebih tinggi dari pekerja dari pulau jawa. Mendekati 2 sampai 3 kali lipat dari pekerja di pulau Jawa.

Namun hal ini sebenarnya masih bisa disiasati. Pengalaman Negara Jepang dengan Negara Cina merupakan contoh yang baik. Seperti kita ketahui, Jepang sangat kental dengan industry elektroniknya. Siapa menduga kemudian cina setelah memasuki pasar bebas, menjadi pesaing yang sangat hebat karena tenaga kerja yang sangat murah dan melimpah yang mengancam keberlangsungan industri elektronik jepang, upah pekerja jepang yang 3-4 kali lipat pekerja cina menjadi persolan utama. Kebijakan yang diambil Jepang adalah industry yang bersifat massal diperbolehkan mempekerjakan pekerja yang berasal dari cina dan pekerja dari asia lainnya termasuk Indonesia (Out-sourcing) karena upah pekerja yang lebih murah sehingga produknya bisa bersaing dipasaran. Sedangkan yang bersifat ‘home industry’ atau produk yang bernilai tinggi dikerjakan oleh pekerja Jepang dengan harga dan mutu lebih berkualitas. Sehingga, kalau kita berbelanja di Jepang kita ditawari “ Anda ingin produk lisensi jepang atau produk yang dibuat orang jepang (handmade) ? “ , harganya sangat berbeda bisa 1 banding 5, tergantung kepada segmentasi pasar dan kelas konsumen.
Implementasinya, dalam pengembangan industry kulit kedepan, bisa saja Pemkot mendatangkan pekerja dari luar terutama pulau jawa untuk industry massal, dan mempekerjakan pekerja Padang Panjang untuk industry rumah tangga dan produk yang lebih berkualitas.

Memang dibutuhkan kerja keras dan semangat bukan saja dari Pemkot tapi juga dukungan masyarakat Kota Padang Panjang, untuk mewujudkan ‘mimpi’ menjadikan Kota Padang Panjang sebagai sentra industri kulit terbesar di Sumatera bahkan di Indonesia. Barangkali kata-kata Bapak Walikota perlu menjadi inspirator bagi masyarakat Padang Panjang. Beliau mengatakan: “ Semua orang mempunyai kesempatan dan kemampuan yang sama, orang yang berhasil dan sukses adalah ketika sesuatu sulit menurut orang lain untuk dikerjakan tapi kita yakin bisa melakukan, menghasilkan sesuatu yang berbeda” . Itulah hakikat dari Jiwa entrepreneur yang sebenarnya. Tanpa adanya keyakinan dan ‘mimpi’ mana mungkin Kroch saudara yang pengangguran, bisa menjadikan produk humburger yang dijual dengan menggunakan mobil bekas menjadi produk dengan label Mc-Donald yang terkenal di dunia. Atau seorang colonel sanders yang pensiunan, bisa menjadikan ayam goreng dengan bumbu ciptaan ibunya menjadi produk dengan label “Kentucky Fried-chicken” yang gerainya tersebar di seluruh Mall di seluruh Negara di dunia. Atau industri rumah tangga “Sony” menjadi industry elektronik besar dan terkenal di dunia. Read more!