Senin, 03 Januari 2011

Reposisi Pengembangan Lembaga Ekonomi Mikro di setiap kelurahan bagi peningkatan aktifitas ekonomi kerakyatan

Permasalahan klasik yang sering dikemukakan oleh pengamat maupun masyarakat pada tingkat grass rout dalam pengembangan ekonomi kerakyatan adalah keterbatasan permodalan untuk berusaha dan mengembangkan usaha yang telah ada. Meskipun sebenarnya para pelaku usaha yang sukses maupun  para trainer of motivation  selalu mengatakan bahwa masalah permodalan (finance) bukanlah prasyarat utama untuk berusaha, yang paling penting adalah modal tekad, semangat dan peningkatan skill untuk menghasilkan seseuatu yang mempunyai nilai tambah. Baru kemudian jaringan pemasaran dan permodalan.

Sebagian besar masyarakat kita dalam berusaha/berproduksi masih bersifat tradisional, belum memperhitungkan analisa keuntungan dan biaya. Ketika, mereka berusaha dengan modal tanpa bunga mereka untung, tetapi jika modal yang dipergunakan pakai bunga dan biaya tenaga kerja mereka mengatakan rugi. Artinya, dalam hitung-hitungan usaha mereka belum memasukan biaya bunga dan tenaga kerja. Sehingga, secara analisa kelayakan usaha belumlah layak, karena keuntungan yang mereka terima sebenarnya terbatas kepada biaya tenaga kerja  sendiri dan biaya modal (bunga). Hal ini biasa terjadi di sektor pertanian dan usaha rumah tangga. Dengan demikian, dapat disimpulkan memang masih dibutuhkan lembaga permodalan mikro yang bisa menyentuh mereka.

Pemerintah sebenarnya  sudah lama mengucurkan kredit lunak bantuan modal melalui berbagai departemen yang ada, baik yang dikucurkan langsung oleh instansi terkait maupun bentukan kelompok masyarakat yang mengelola perguliran dana seprti; LPN,PDM-DKE, UPPKS, KUT, Koptan, Kumanis, dsb, dsb..   Namun keberhasilannya hanya terbatas 1 – 2 tahun dan kemudian secara bertahap berangsur-angsur habis dengan berbagai permasalahan seperti: masyarakat yang tidak mau lagi membayar, pengurus yang ogah-ogahan karena tidak lagi digaji, binaan instansi terkait yang mulai kendor, pembukuan yang tidak acountable, dsb..dsb.. Ada kesan hanya tumbal sulap, tidak menyelesaikan permasalahan utama.

Di era otonomi daerah ini dicoba lagi perguliran dana yang sepenuhnya langsung dikelola masyarakat seperti PNPM-P2KP, Kredit Mikro Negeri. Ada pradigma baru yang dimunculkan dalam konteks pemberdayaan masyarakat, menimbulkan kesadaran masyarakat untuk mengelola sendiri dana mereka sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan bersama dan apabila ada pelanggaran masyarakat yang akan memberikan sanksi dan memantau terhadap anggota masyarakatnya.  Tapi sepertinya, tidak akan berbeda jauh dari sebelumnya, baik pada awalnya namun berangsur-angsur mulai menimbulkan masalah seperti kredit macet dan pengelolaan yang tidak menunjukan peningkatan. Sanksi dari masyarakat sendiri yang diharapkan ternyata juga tidak efektif terutama didaerah perkotaan.

Ada fenomena yang menarik dalam perguliran dana ini. Ketika masayarakat berurusan lembaga perbankan atau perkereditan swasta lainnya mereka lebih patuh untuk membayar dibandingkan dengan  lembaga yang mereka bentuk sendiri atau lembaga bentukan Pemerintah walaupun tanpa bunga ataupun kredit dengan bunga yang rendah.  Hal inilah yang menjadi permasalahan utama sebenarnya karena menyangkut masalah prilaku yang terpupuk sekian lama dan akhirnya menjadi budaya.

Dengan dikeluarkan Surat Keputusan Bersama antara Departemen Keuangan, Departemen Koperasi dan Departemen Dalam Negeri tahun 2010. Maka kedepan lembaga keuangan mikro yang bisa dibentuk pada masyakarat perkotaan hanyalah BPR dan Koperasi yang tunduk kepada aturan-aturan yang mengikatnya.  Apabila, kita menginginkan adanya lembaga keuangan mikro disetiap kelurahan maka tentu saja harus berbentuk koperasi dan BPR yang pengelolaannya berbeda satu sama lain. Pembentukan BPR dan  operasionalisasinya mengacu kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sedangkan Koperasi mengacu kepada Undang-Undang dan peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Koperasi dan UKM. Apapun pilihannya, BPR ataupun koperasi, prinsip dasar yang harus ditanamkan adalah memberikan kredit dengan bunga yang relative rendah bagi masyarakat serta mengembangkan potensi usaha masayarakat yang ada diwilayah kerjanya.

Mengacu kepada pengalaman masa lalu seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pembentukan lembaga keuangan mikro di kelurahan-kelurahan kedepan harus mempertimbangkan hal-hal sbb:
  1. Lembaga keuangan mikro yang dibentuk dikelola secara professional. Pengurus/pengelola dipilih dari orang-orang yang mengerti pengelolaan keuangan komersial (bukan nirlaba). Selama ini lembaga keuangan mikro dikelola oleh orang-orang yang dipilih lebih didasarkan kepada  ketokohan maupun kekerabatan.   Sehingga dalam perguliran danapun kemudian kurang memperhatikan hal-hal yang mendasar dari pengolalaan keuangan, seperti: ‘cash flow’, perncanaan keuangan dan laporan perkembangan usaha/keuangan, analisa kredit, kelayakan usaha dsb.
  2. Misi Utama dari lembaga ekonomi mikro lebih ditekankan kepada pembangunan potensi dan aktifitas ekonomi masayarakat di wilayah kerjanya  tanpa meninggalkan prinsip profesionalitas pengelolaan
  3. Meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa lembaga keuangan mikro, sama dengan lembaga keungan/perbankan lainnya. Bukan lembaga pemberi bantuan seperti : BAZIS, BLT, atau lembaga sosial lainnya. Perbedaannnya lebih kepada keringanan bunga, prosedur dan kedekatan dengan masayarakat.
  4. Menciptakan metode pengembalian kredit yang efektif seperti: “simpanan/angsuran bajupuik”, celengan dsb. Dibutuhkan keaktifan pengelola.
  5. Mengembangkan pola kemitraan usaha dengan masyarakat pengguna (debitur), seperti: bantuan menejemen usaha, pengelolaan keuangan dan pemasaran produk
  6. Dukungan Pemerintah Daerah lebih diarahkan kepada; bantuan pendirian dan rekruitmen pengelola (berdasarkan prinsip profesionalitas), Subsidi bunga pinjaman, diklat/pengembangan pengelola (bekerjasama dengan lembaga diklat keuangan lainnya) dan penyertaan modal (jika diperlukan).
  7. Pembentukan lembaga independen (tingkat kecamatan atau kota) yang terdiri dari orang-orang kompeten di bidangnya, sebagai institusi yang bertugas mengawasi jalannya lembaga keuangan mikro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar