Kamis, 17 Maret 2011

Upaya Percepatan Pengembangan Sentra Industri Kulit Padang Panjang (bagian 2)

Restrukturisasi Industri Kulit di Indonesia menjadi sahsatu program prioritas di kementerian Perindustrian RI. Hal ini mengingat bahwa Cluster Indusri kulit tidak banyak di Indonesia, sebut saja: cibaduyut, bogor, magetan dan sidoarjo. Bencana alam dan ‘lumpur lampindo’ yang terjadi di pulau jawa, jelas mengancam keberadaan industry kulit dan produk alas kaki (terutama sepatu). Permintaan terhadap produk dan alas kaki dunia cenderung mengalami peningkatan. Sedangkan, bahan baku serta Tenaga Kerja (komponen terbesar dalam industri sepatu) relative banyak. Sehingga, sangatlah beralasan bagi Kementerian Perindustrian RI untuk mendorong terciptanya “cluster industri Kulit” di Sumatera



Padang Panjang  sebagai penghasil makanan ringan ‘karupuak jangek” dan ‘tarompa datuak’ dulunyo siapa yang tidak kenal?!. Pemasarannya tidak saja di Sumatera Tengah tapi juga sampai ke negeri ‘Jiran’ Malaysia terutama di wilayah Selangor dan negeri Sembilan yang ‘notabene’ banyak orang minang disana. Disamping karena kedekatan budaya antara melayu dan minangkabau, persoalan fanatisme agama juga menjadi faktor pendukung. Seperti kita ketahui, penyembelihan sapi dan kerbau di wilayah Sumatera Barat dan  Kota Padang Panjang khususnya, selalu dilakukan menurut syariah islam. Keyakinan itulah yang dipegang kuat oleh masyarakat ‘jiran’ dibandingkan dengan produksi dari daerah jawa misalnya.



Kerajinan kulit di Kota Padang Panjang bisanya bersifat turun temurun, dengan lokasi Silaing bawah, dan Pasar Usang. Dalam perkembangannya, bebarapa pengrajin telah bisa menghasilkan diversifikasi produk a.l: Topi, moris, jaket kulit dan terakhir sepatu (pesanan). Produk tsb dipilih karena memang minat masayarakat local berkisar pada jenis ini. Industri kulit di Kota Padang Panjang bisa dikatakan bukan bersifat industri massal seperti halnya di Jawa, akan tetapi bersifat “luxury good”. Ada kebanggaan tersendiri bagi masyarakat yang memakai acecoris dari kulit dan karena berdasarkan pesanan, harganya relative lebih mahal disamping bahan bakunya (kulit yang sudah diolah) masih berasal dari jawa. Sebenarnya, bahan baku kulit tersedia cukup banyak di Kota Padang Panjang. Masyarakat pengrajin kulit melakukan penyamakan kulit dan kemudian dijual kedaerah-daerah lain terutama pulau jawa. Kemudian membeli kembali untuk keperluan kerajinan kulit.



Berdasarkan historis di Kota Padang Panjang, serta mengingat Sentra Industri Kulit yang telah ada yakni di Porong Sidorjo dan Bogor telah mengalami kejenuhan disamping faktor bencana “lumpur lampido” di Sidoarjo. Departemen Peridustrian RI mengambil inisitif untuk sembuka sentra industri kulit baru, dan berdasarkan kajian historis dan prospek dipilihlah Kota Padang Panjang sebagai pengembangan sentra industry kulit di Sumatera



Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan perkembangan sentra industri kulit Padang Panjang. Mengemukakan kekuatan, prospek dan peluang. Namun tentunya belum lengkap kalau tidak dikaji kelemahan dan hambatan yang ada.  Dari identifikasi kekuatan,kelemahan, peluang dan tantangan yang ada maka mengacu kepada analisis “SWOT’ ,   akan dapat dilahirkan strategi dan langkah-langkah kedepan bagi percepatan pengembangan sentra industry kulit di Kota Padang Panjang.



Para pedagang kulit di Kota Padang Panjang, selama ini lebih senang menjual kulit mentah dan kulit hasil penyamakan. Alasan yang mengemuka adalah kecepatan perputaran permodalan. Penjualan tidak terbatas hanya didalam daerah tapi juga  pada daerah tetangga dan pulau jawa. Untuk perkembangan industry kulit kedepan, tentu diperlukan kontinitas ketersedian kulit jadi bagi pengrajin produk olahan kulit dengan harga lebih murah dibandingkan kulit jadi dari pulau jawah dan daerah lainnya.  Sehingga, biaya produksi terhadap bahan baku bisa ditekan dan pada akhirnya harga produk kulit sperti; sepatu, tas, acecoris kulit lainnya bisa bersaing dipasaran



Kualitas kulit jadi yang siap dolah jadi produk sepatu misalnya, ditentukan juga oleh pemeliharaan ternak oleh peternak. Seperti kita ketahui, peternakan di wilayah sumatera barat masih bersifat tradisional belum dikelola secara professional (industry peternakan). Masalah kebersihan kulit hewan, penyakit kulit, cacat kulit karena gesekan baik semasa perawatan maupun waktu distribusi ke RPH seringkali terjadi. Sehingga, hal tersebut akan mempengarui kualitas kulit.  Kulit jadi dari hewan yang tidak dikelola akan baik, akan terlihat setelah pengolahan menjadi kulit jadi. Hewan ternak yang kurang bersih dalam pemeliharaannya (dihinggapi kuman) akan terlihat berupa bintik-bintik berlobang, berupa guratan-guratan kasar dan cacat lainnya, tentu saja itu akan mempengarui hasil jadi produk sepatu, misalnya.



 Dari sisi pengrajin kulit. Selama ini pengrajin produk kulit seperti; sepatu, moris, kala anjing, ikat pinggang dsb., dikerjakan secara individu, dengan skala kecil yang tentunya ongkos produksi lebih besar. Pengrajin menetapkan keuntungan sendiri, apabila sesuai baru dijual meskipun tersimpan sekian  lama (kurangnya perputaran modal usaha).  Untuk menjadikan industry alas kaki dan produk kulit lainnya bisa berkembang, tentu diperlukan menejemen produksi yang lebih baik. Seperti; proses produksi yang dikerjakan bagian perbagian, pembuatan skala massal dengan standar model yang ditetapkan, sub kontrak dll, yang bertujuan menekan biaya produksi. Perubahan tersebut bukan saja dari penambahan pengetahuan tentang menejemen produksi dan usaha, tapi  yang terpenting dari itu semua adalah perubahan pola pikir. Pemahaman bahwa ‘menjual 10 psg 1 hari dengan untung  10 ribu dari setiap pasangnya, dari pada menjual 1 psg dengan untung  50 ribu’ belumlah menjadi budaya. Walau bagamanapun   pasar industri alas kaki mengarah kepada ‘pasar persaingan sempurna’ sangat ditentukan oleh harga dan kualitas.



Kendala lain yang ditemui adalah belum begitu besarnya animo masyarakat dan dukungan pihak terkait bagi pengembangan industry kulit Padang Panjang. Pameo “mancaliak-caliak dulu” sebagai sebuah prilaku yang kurang produktif. Memang, menumbuhkan sesauatu yang baru dan membuat perubahan dari skala usaha tradisonal menjadi produksi massal bukan sesuatu yang mudah.



Dari kekuatan, tantangan, kekurangan dan hamabtan yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Beberapa Upaya dan strategi bagi pengembangan industry kulit di Kota Padang Panjang, antara lain:

  1. Perlu dibangun sebuah kerkaitan dan jaringan antara pemasok kulit, UPTD Pelayanan Kulit dan pengrajin dalam penyedian Kulit Jadi secara kontinu dan dengan harga relative lebih murah dibandingkan dengan harga kulit jadi dari luar Propinsi. Sehingga bisa menakan biaya produksi bahan baku bagi pengrajin produk olahan kulit
  2. Perubahan pola produksi dan pemasaran yang bersifat pesanan menjadi pola produksi massal dan dengan standar tertentu, terutama untuk produk alas kaki. Sehingga, dihasilkan produk alas kaki dengan harga yang bersaing dengan standar kualitas yang ditetapkan.
  3. Perbaikan pengelolaan hewan ternak oleh peternak dengan binaan instansi teknis terkait (Dinas Peternakan), sehingga dihasilkan kulit jadi yang bagus dan berkualitas.
  4. Pola produksi pemasaran yang diyakini efektif bagi sebuah industri baru adalah mendekatkan dengan perusahaan  yang ‘telah punya nama’ dengan sistim sub kontraktor. Para pengrajin berproduksi berdasarkan ‘order’  dengan ‘brand’ dan Standar kualitas yang telah ditetapkan. Diharapkan hal ini menjadi pembelajaran bagi pengrajin untuk berproduksi secara massal dan standar kualitas yang terjamin dan menciptakan produk berdasarkan keinginan pasar nantinya.
  5. Pelompok pengrajin kulit perlu terus dikembangkan, terutama bagi pembagian pekerjaan dan pembelian input produksi secara bersama guna menekan biaya produksi. Disamping itu memudahkan “transfer knowledge’ antara pengrajin dan mengurangi persaingan yang tidak sehat.
  6. Mengoptimalkan  workshop-workshop yang ada di setiap kelurahan untuk tempat berproduksi dan sarana promosi
  7. Menjalin kerjasama dengan Toko-Toko Sepatu yang ada di Sumatera Barat, baik dalam pemasaran maupun sharring informasi terhadap model dan diversifikasi produk yang diinginkan konsumen. Karena walau bagaimana toko-toko sepatu setiap hari berinteraksi dengan konsumen dan memahami keinginan konsumen.
  8. Mengembangkan  pelatihan-pelatihan dan bintek yang kontinu dengan target yang terukur,apalikatif  dan objek pengrajin yang disesuaikan tingkat pelatihan (pemula,lanjutan,advance). Disamping itu diperlukan juga diversifikasi jenis pelatihan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan pengrajin.  
  9. Bantuan modal hanya diberikan kepada pengrajin yang memulai usaha atau usaha yang “mandek”. Bagi yang telah berkembang, upaya dilakukan adalah mendekatkan dengan perbankan, bapak angkat, sehingga pembelajaran tentang menejemen usaha, produksi dan pembiayaan bisa berjalan. Diharapkan melahirkan pengrajin  yang tangguh dan tidak tergantung kepada bantuan permodalan dan mempunyai hitung-hitungan bisnis dalam berproduksi.
  10. Menjadikan Sentra industry kulit dan workshop di Terminal Bukit Surungan menjadi ‘ikon’ produk kulit Sumatra seperti halnya: cibaduyut di Jawa barat.
Read more!