Kamis, 19 Januari 2012

Leadership PNS

Oleh : Rhenald kasali  Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Pakar Bisnis dan Strategi
BANYAK PNS muda yang curhat kepada saya mempertanyakan kapan birokrasi Indonesia berubah dari kucing (yang maaf, “malas”) menjadi cheetah (yang gesit dan cepat). Mereka gundah setelah membaca pernyataan Wapres Budiono yang menjanjikan transformasi birokrasi bisa berlangsung empat–lima kabinet. Ini berarti 20 tahun ke depan nasib dan cara kerja mereka belum berubah.

Dan, seperti Bandara Ir H Juanda yang butuh waktu 12 tahun dari desain sampai peresmian, maka begitu selesai, ia juga harus sudah diperbaiki lagi. Kapasitas sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan berubah lagi.

Maka, kepada rekan-rekan PNS, saya ingatkan bahwa perlu dilakukan terobosan leadership supaya hidup dan kerja tidak membosankan. Bukankah bekerja tanpa memberikan impak sosial tidak membahagiakan? Apa artinya mempunyai banyak proyek kalau martabat diinjak-injak masyarakat dan dianggap tak berguna?


Terobosan Leadership
Dalam banyak hal, leadership di kalangan PNS sebenarnya sudah harus banyak berubah. Ketika desain birokrasi diperbaiki, celakanya sebagian besar PNS terjangkit inertia, yaitu terikat belenggu-belenggu tradisi yang memenjarakan kaki-tangan dan pikiran-pikirannya.
Cara bekerja dan berpikir masih manusia Orde Baru, yaitu sangat mengedepankan kesetiaan pada atasan, stabilitas, menunggu arahan dari atas, setor muka, membacakan naskah pidato yang dibuatkan orang lain, membagikan alat-alat yang tidak sesuai dengan kebutuhan si penerima di lapangan, terlalu prosedural, dan seterusnya.

Selain itu, manajemen birokrasi adalah manajemen yang terkunci pada model perilaku I-centric yang berakibat buruk pada hereditas (DNA) unit organisasi tersebut. Organisasi seperti itu bekerja seperti berikut: hanya melayani (berbicara) dengan atasan satu tingkat di atasnya (one level up), strategi dan informasi dikuasai pejabat senior tertentu, jabatan dipakai untuk mengimpresi dan menciptakan jarak (hierarki), pintu ruangan tertutup-dijaga beberapa petugas administrasi dan ajudan, kritik terhadap hasil kinerja orang lain sangat judgemental (menghakimi), fokus pada apa yang tidak bisa dikerjakan, cenderung blaming (menyalahkan), kesalahan adalah ketakutan, takut tidak bisa melaksanakan, sulit mendapat dukungan pelak sanaan, informasi tidak di-sharing dengan yang lain, dilarang “cross the line” atau menjembatani diri dengan anak buah orang lain tanpa melalui atasan masing-masing, otokrasi, atasan selalu benar, bawahan selalu merasa kurang diperlakukan secara adil, ada bagian “kering” -ada bagian “basah”, menunjukkan (bukan “membagi”) “apa yang saya tahu”, memberi pengarahan (bukan mendengarkan), bekerja dengan sarat prosedur dan tujuan utamanya adalah compliant (kepatuhan) –bukan hasil–, yang membuat Anda tidak bisa bekerja lebih jauh adalah constraint dan aturan yang dibuat sendiri, dan perintah atau arahan dibuat dogma.

Panjang sekali ya? Ya, seperti itulah model leadership sebagian besar PNS yang belum melakukan transformasi. Prosedur memang sulit kita ubah sendiri. Namun, leadership adalah urusan kita masing-masing. Inilah yang membedakan Anda sebagai leader atau follower.

Leader mengambil inisiatif, menetapkan nada dan lagu, mengambil keputusan. Follower, maaf, cuma ikut-ikut dan mengeluh, agendanya ditetapkan orang lain, dan dia hanya menunggu perintah. Otaknya tidak aktif berpikir karena semua pekerjaan digariskan dari atas sehingga lama-lama orang pintar lulusan UI, ITS, dan Unair pun jadi bodoh.

Maka, saat ini diperlukan leadership breaktrough, sudah ataupun belum reformasi birokrasi menyentuh para PNS di lingkungan masing-masing.
Leadership breakthrough itu pada dasarnya adalah suatu transformasi dari cara-cara yang berpusat pada diri sendiri (I-centric) menjadi we-centric. Manusia I-centric hanya bekerja untuk dirinya sendiri dan atasan satu level di atasnya. Dia disconnect terhadap dunia di sekitarnya. Setiap orang bekerja pada silosnya masing-masing.
Manusia I-centric tidak akan bisa menolong pe me rintah memberikan pelayanan. Sebaliknya, organisasi customer centric harus dimulai dari manusia-manusia we-centric. Inilah manusia-manusia yang berorientasi pada konteks yang lebih besar daripada dirinya sendiri. Manusia we (kami) adalah manusia yang connected (terhubung) dengan sekitarnya.

Perhatikanlah pemerintahan-pemerintahan daerah yang maju atau negara-negara yang sukses. Mereka memiliki cara kerja seperti perusahaan-perusahaan yang sukses. Sebut saja Starbucks atau Microsoft. Mereka sukses bukan karena teknologi atau kapital, melainkan oleh manusia-manusia yang mampu bekerja sama serta secara krea tif dan kritis membentuk lingkungannya.

Mereka melihat semua orang sebagai mitra yang menyampaikan “experience” kepada jutaan pelanggan setiap saat. Breakthrough itu akan menghasilkan manusia-manusia yang berbagi (sharing) apa saja, mulai informasi sampai pengetahuan dan pekerjaan, terlibat dalam pengambilan keputusan, inclusive, open-door policy, saling mendukung dan memberi semangat, fokus pada apa yang bisa dikerjakan, berani belajar dari kesalahan, sharing hope, dreams, dan aspiration, mendukung risk taking, mau mendengarkan, dan memberi reward terhadap sukses.

Dalam buku Record–Your Change DNA, saya menemukan pegawai-pegawai yang sukses adalah pegawai-pegawai yang aktif berpikir dan mengerjakan apa yang dipikirkannya, bukan yang dipikirkan orang lain. Maka, penting bagi kita menghidupkan kembali otak-otak PNS agar mampu memberi impak yang sehat. Selamat berubah. (*)
Read more!