Rabu, 05 Januari 2011

SEJAHTERA, PENGANGGURAN, KEMISKINAN DAN PRODUKTIFITAS

Kata ‘sejahtera’ sangat populer dan tidak asing didengar oleh telinga masyarakat Indonesia. Kata sejahtera biasanya diletakkan paling akhir dari suatu tujuan , seperti contoh berikut: ‘masyarakat adil, makmur dan sejahtera’, ‘keluarga bahagia sejahtera’, ‘bangsa yang maju dan sejahtera’, dsb,dsb. ‘sejahtera’ menjadi sesuatu “impian” yang hendak diwujudkan baik dalam konteks individu, organisasi, masyarakat maupun Negara. Sehingga, kuranglah ‘afdol’ rasanya.. apabila dalam menyusun dokumen perencanaan, pidato-pidato, penyusunan visi-misi organisasi, individu ataupun partai politik tidak dicantumkan kata ‘sejahtera’. Masalahnya sekarang bagaimana mewujudkan ‘sejahtera’ itu?

Untuk mewujudkan ‘sejahtera’ perlu dipahami terlebih dahulu pengertian, dan indikator kesejahteraan yang akan sangat berfariasi tergantung kepada konteks dan luas cakupannya. Namun, secara sederhana dapat diartikan ; ‘sebagai suatu kondisi dimana terwujudnya (need) kebutuhan pada tingkat tertentu (baik individu, keluarga, masyarakat, bangsa). Moslow mengklasifikasikan kebutuhan (need) setiap individu bertingkat mulai dari kebutuhan akan sandang pangan, perumahan, pendidikan, derajat sosial. Tingkat kesejahteraan sesorang diukur dari sejauhmana tingkat kebutuhan dasar tersebut dipenuhi. Dalam pelajaran ekonomi klasik dikatakan; “welfare (kesejahteraan) terwujud ketika terjadinya full employment ( angkatan kerja tidak ada yang menganggur). Artinya, kesejahteraan bisa tercapai apabila semua angkatan kerja bekerja (produktif), baik sebagai pekerja maupun menciptakan pekerjaan sendiri.

Dari pemahaman tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak mungkin terwujud apabila masyarakat masih banyak miskin dan menganggur. Sehingga kemudian, sejak pemerintahan orde baru s/d sekarang, Program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan tetap menjadi prioritas. Masalahnya, sudah sedemikian banyak program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan namun kemiskinan dan pengangguran tetap tidak bisa ‘terentaskan’ bahkan sepertinya dilapangan semakin meningkat ?!. Alasan klasik seperti resesi ekonomi, gejolak politik, dsb, bisa saja dikemukakan sebagai penyebab. Ada beberapa kelemahan mendasar dalam upaya pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan selama ini (menurut saya) a.l:
1. Tidak adanya indicator yang pasti tentang kemiskinan dan pengangguran yang bisa dijadikan rujukan bersama, serta tidak adanya data pendukung yang lengkap terhadap orang miskin dan menganggur yg bisa diakses bersama, sehingga bisa ditentukan program yang tepat bagi masing-masing individu yang miskin dan menganggur (masalah data dan informasi).
2. Sebagian Program pengentasan kemiskinan dan ketenagaakerjaan lebih bersifat jangka pendek (recovery) dan tidak mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran, Seperti; Bantuan Tunai Langsung (BTL), Program Padat Karya (masyarakat menganggur disuruh bekerja dan dibayar). Selesai program mereka tetap miskin dan menganggur
3. Program kemiskinan dan ketenagaakerjaan sangat diminati (ibarat gula dikerubutin semut). Sehingga pada era sebelum otonomi daerah berbagai departemen meluncurkan program dengan metode dan target sasaran sendiri-sendiri, lemahnya koordinasi antar instansi. Sehingga, kesannya orang miskin dan menganggur menjadi ‘obyek’ bukan lagi ‘subyek’. Parahnya lagi, ada kelompok masyarakat yang senang menjadi penerima bantuan tapi ekonomi mereka tidak meningkat-ningkat juga.
4. Ada bebarapa program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan yang bersifat jangka panjang dan pengembangan kapasitas kelompok sasaran, baik berupa pelatihan, pembukaan lapangan usaha, maupun modal bergulir. Namun, tetap saja selesai program tidak ada lagi kelanjutan pengelolaan, atau diciptakan program yang kelihatannya baru tapi sebenarnya sama. Alhasil, tetap saja program tersebut putus ditengan jalan.

Untuk itu kedepan pada era-otonomi daerah ini, diharapkan daerah kabupaten/kota berani untuk berinofasi dan melaksanakan program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan dengan konteks dan metode yang lebih terarah dan focus pada sararan. Dengan mempertimbangkan hal-hal sbb:
1. Penetapan indicator kemiskinan dan pengangguran serta memiliki data yang lengkap tentang masing-masing individu, sehingga bisa diciptakan program yang sesuai dengan karaketristik kelompok masyarakat miskin dan pengangguran.
2. Program yang dilaksanakan didasarkan kepada prinsip ‘membuat mereka produktif dengan skill kemampuan yang ada pada mereka’. Selemah-lemahnya manusia, pasti tuhan menciptakan sesuatu kelebihan pada masing-masing individu. Masalahnya, bagi orang miskin menganggur ada hambatan-hambatan yang membuat mereka tidak bisa untuk megaktualisasikan kemampuannya. Mungkin saja karena pendidikan yang kurang, modal yang tidak ada, motivasi yang tidak kuat, keberanian diri, kemampuan yang belum diasah,dsb. Sehingga, program yang dilaksanakan menjadikan mereka sebagai ‘subyek’ bukan ‘obyek’ dan pihak pelaksana memposisikan diri sebagai ‘fasilitator’ .
3. Program yang dilaksanakan berkelanjutan, step-by-step, terukur, sasaran yang jelas dan terukur, terkoordinasi dengan baik, didasarkan kepada kemanusiaan bukan target politis dan program semata.

Produktifitas adalah perbandingan antara output yang dihasilkan dengan input yang dikeluarkan. Semakin besar output yang dihasilkan dibandingkan biaya yang dikeluarkan, dikatakan produktifitasnya semkin tinggi. Produktifitas Tenaga Kerja secara riil akan diukur dari upah yang diterima atau balas jasa tehadap barang modal yang dimiliki. Ketika seseoarang tidak bekerja tentu saja tidak ada yang dihasilkan dan menjadi tidak produktif dan tidak akan ada kesejahteraan baginya. Semakin produktif seseorang akan semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Adanya korelasi positif antara produktifitas dan kesejahteraan.

Kemiskinan terjadi apabila seseorang yang bekerja, tapi balas jasa yang ia terima tidak sesuai biaya yang ia keluarkan, ‘besar pasak daripada tiang’. Jika sebuah keluarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga, hanya seorang bekerja dengan penghasilan yang sebenarnya hanya bisa untuk membiayai kehidupan dia sendiri atau satu orang lagi tambahan, jelas kemudian keluarga tersebut akan jatuh kemiskinan. Jadi, antara produktifitas, penganguguran, kemiskinan dan kesejahteraan sesuatu yang saling berkaitan.

Dari paparan yang telah disampaikan, disimpulkan bahwa kesejahteraan tidak bisa terwujud apabila: seseorang tidak bekerja (menganggur), atau dia bekerja tapi balas jasa diterima tidak bisa mencukupi kebutuhan anggota keluarga (kemisikinan). Idealnya untuk mencapai sejahtera, semua orang bisa bekerja dan bisa membiayai dirinya sendiri, atau ketika dia tidak bekerja (sekolah atau mengurus rumah tangga) ada anggota keluarga lain yang membiayainya. Artinya, Program pengentasan kemiskinan dan pengangguran harus didasarkan kepada’framework’ BAGAIMANA SEMUA ANGKATAN KERJA BISA BEKERJA (PRODUKTIF) DAN KELUARGA MISKIN BISA MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN PENGHASILANNYA (PRODUKTIFITAS). Pemahaman konseptual seperti ini perlu, agar program yang dimunculkan lebih terarah, terukur, efektif, dan efisien.

Apabila kita lihat disekeliling kita, bahkan dikeluarga sendiri, berapa banyak yang tidak bekerja atau bekerja tidak sesuai dengan kemampuan dan investasi pendidikan yang dikeluarkan. Lebih jauh, kalau kita lihat Demografi penduduk kita, sebagian besar penduduk Indonesia adalah balita, anak-anak, usia sekolah, belum bekerja dan mengurus rumah tangga. Secara rata-rata seorang pekerja di Indonesia harus membiayai 4 orang lainnya yang tidak bekerja. Dan mereka berpotensi untuk miskin ketika tidak bekerja atau biaya hidup meningkat. Ternyata, mewujudkan ‘sejahtera’ tidak segampang diucapkan oleh jargon-jargon politik, pidato-pidato, ataupun proposal-proposal program. Dibutuhkan, terobosan baru, inovasi dan kerja keras, agar bangsa ini tidak selalu terpuruk dengan masalah kemiskinan dan pengangguran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar